Dokar Bektiharjo Tuban di Tengah Zaman Yang Serba Cepat

Pada Hari Minggu ku turut ayah ke kota, naik delman istimewa ku duduk di muka, Ku duduk samping pak kusir yang sedang bekerja, mengendarai kuda supaya baik jalannya.
Lirik lagu anak-anak yang kini tak lagi akrab di telinga bocah-bocah masa kini tersebut, barangkali selara nasib dokar yang dalam sejarahnya sebagai angkutan primadona antar kota, sebelum kereta api dan kendaraan bermotor lainnya ada. Sekarang jarang lagi terdengar suara tapak kaki kuda sebagai “mesin”-nya.


Ya, delman atau dokar, kini hanya digunakan angkutan lingkungan yang berjarak tempuh pendek atau di pedesaan. Sifat transportasi itu sekarang regional antar kampung. Terlebih saat ini tergusur oleh kehadiran ojek sepeda motor, ataupun angkutan umum bermotor lainnya seperti lin maupun angkudes.

Namun begitu, pada beberapa kawasan terutama daerah wisata dan pasar tradisional dokar masih setia beroperasi. Keberadaan dokar sebagai salah satu warisan budaya Jawa memberikan ciri khas tersendiri di seputaran makam Sunan Bonang dan Pasar Baru Tuban.

Hanya saja, kini harus mengikuti aturan kebersihan perkotaan seperti penampung kotoran kuda. Untuk tujuan tersebut, dokar juga diberi nomor seperti halnya pada penomoran kendaraan bermotor yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah.

Sayangnya, meski tetap berusaha bertahan, karena maraknya masyarakat Tuban yang menggunakan sepeda motor sebagai alat trasportasi menyisakan pilu bagi dokar.

Transportsai yang berbeda dengan kendaraan lain seperti mobil, sejak awal dibuat hingga sekarang dengan bentuk yang tetap, tak lagi bisa diandalkan sebagai gantungan hidup.

Wi, salah seorang kusir dokar yang telah menjalali profesinya selama 20 tahun ini, mengaku dokar tak sehebat dulu.

“Sebelum ada “sepedah” motor saya sehari dapat bolak balik 8 sampai 10 kali per hari dari Pasar Tuban ke Semanding, Tapi sekarang ini syukur-syukur bisa buat beli makan kuda saja sudah cukup,” kata Wi getir saat ditemui di tempat mangkalnya di perempatan pasar bongkaran, Pasar Baru Tuban, Jumat (26/03/2015) pagi.

Dia menuturkan, kini dokar yang masih beroperasi dari pasar bongkaran tinggal lima saja. Itu pun jarang-jarang yang mau naik.

“Kebanyakan malah wisatawan asing yang akan ke Bektiharjo minta diantar ke kolam renang. Kalau  masyarakat sini sendiri jarang. Paling ya orang tua yang takut naik sepeda motor,” terang Wi.

Selain faktor banyaknya sarana trasportasi yang lain, tarif yang ditarik untuk penumpang menjadi masalah utama. Jujur, kata Wi, jika diitungh-itung tarif dokar cukup mahal.

“Sebelumnya kami tawar menawar dulu. Rata-rata dari pasar bongkaran ke Polsek Semanding Rp 15 ribu per orang. Lah mau gimana lagi makanan kuda saja sehari habis Rp 10 ribu, Mbak,” katanya seakan membenarkan tarif dokar yang diakuinya lebih mahal ketimbang ongkos ojek. 

Sumber: seputartuban.com
-------------------------
Informasi, saran, kritik, Hubungi segera : 

WA: 0811 3010 123

sms:08113010123?body=halo
Telp/SMS : 0811 3010 123

*tombol hanya berfungsi jika anda mengakses web ini via Smartphone

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Dokar Bektiharjo Tuban di Tengah Zaman Yang Serba Cepat"

Post a Comment