Karya Welitnya Sudah Sampai Luar Negeri, Mbah Suwito Tetap Hidup Sederhana
Siapa sangka atap daun sagu atau gabus (masyarakat setempat menyebutnya rembulung) atau welit karya ibu-ibu Dusun Balong, Desa Bektiharjo, Kecamatan Semanding ini ternyata sudah terbang ke luar batas teritorial Republik Indonesia.
Suwito, pemilik usaha kerajinan welit di tempat itu menuturkan, welit produksinya sudah sampai ke Thailand, Malaysia dan Philipina. Bahkan pernah juga dikirim ke Australia.
" Saya sendiri nggak tahu, dan nggak nyangka. Awalnya yang pesan orang Bali. Lalu orang itu ke sini lagi kantanya disuruh belikan temennya di Thailand dan Australia," cerita Suwito, saat Realita.co berkunjung, Minggu (11/10/2015). Meski demikian, Suwito tidak membedakan harga welit produksinya yang bakal dibawa ke manca negara itu. Ia mengaku tetap memasang harga standart Rp 30 ribu/100 lembar. Jumlah itu bila dipasang bisa jadi atap sekira 3x6 meter. Suwito tidak membikin sendiri welit-welit produksinya itu. Ia memanfaatkan tenaga ibu-ibu rumah tangga di kanan-kirinya. Saat pesanan ramai, ia bisa mempekerjaan 6-10 perajin. Jika pesanan sepi, seperti saat realita berkunjung, hanya 2 perajin yang bekerja. Suwito mengaku tidak menerapkan gaji pokok untuk para pekerjanya itu. Para perajin tersebut ia beri upah berdasar jumlah anyaman welit yang dihasilkan dalam sehari. " Per 100 lembar saya kasih Rp 9.000. Sehari kalau full bisa dapat 200-an lembar per orangnya," jelasnya.
Para perajin itu memang tidak bisa rutin setiap hari datang dan bekerja di tempat Suwito. Karena pesanan welit tidak selalu datang tiap waktu. Terlebih akhir-akhir ini daun gabus semakin sulit didapat karena banyak hutan gabus rusak menyusul rusaknya daerah aliran sungai. Sialnya pohon ini hanya bisa berkembang biak secara alami di daerah yang tanahnya memiliki tingkat kelembaban tinggi. Dulu, kata Suwito, hampir semua daerah aliran sungai di Buminya Wali ini dipenuhi pohon gabus atau rembulung ini. Tapi sekarang sudah semakin jarang.
Pembangunan plengsengan sungai yang hampir merata di seluruh penjuru Buminya Wali ini, kata Suwito, memberi andil besar rusaknya habitat gabus. " Lha sungainya semua dikasih plengsengan sekarang. Gabusnya dibabati. Lha untuk tumbuh dan besar perlu waktu luama sekali. 10 tahunan baru bisa diambil daunnya," kata Suwito. Itulah yang menyebabkan kerajinan welit kian langka.
Di tempat itu dulu ada sekitar 12 orang yang membuat welit. Tapi sekarang tinggal Suwito. Perajin lain memilih berhenti karena untuk mendapat bahan baku daun gabus, sekarang harus beli Rp 9 juta/truk ukuran 6 ton. " Lha harus beli sampau Jawa Tengah je bahannya. Lha kalau ndak punya duit banyak sekarang ya ndak bisa toh bikin welit sendiri," ujar Sarju, perajin yang kini bekerja pada Suwito. Karena itulah, kata Sarju, meski hasil karyanya dengan beberapa perajin lain sudah sampai ke luar negeri, hidup mereka tetap tak beranjak dari garis kemiskinan. Paling banter para perajin itu hanya mampu membawa pulang Rp 18 ribu sehari. Cukup buat makan ala kadarnya.
Sebab harga beras sekarang di Tuban untuk IR 64 premium standart konsumsi sudah Rp 8.700/Kg. Itu pun di Pasar Baru (Pasar Induk). Di tempat Sarju beras itu seharga Rp 10 ribu/Kg.
Sumber: realita.co
-------------------------
Informasi, saran, kritik, Hubungi segera :
WA: 0811 3010 123
Telp/SMS : 0813 3519 6837
*tombol hanya berfungsi jika anda mengakses web ini via Smartphone
0 Response to "Karya Welitnya Sudah Sampai Luar Negeri, Mbah Suwito Tetap Hidup Sederhana"
Post a Comment